Minggu, 08 April 2012

Don't Judge the book by its cover!!

Mungkin pepatah asing diatas sudah terlalu sering kita dengar. Kalimat ini menurutku sangat luas maknanya. “dont judge a book by its cover”, jangan menilai seseorang cuman dari tampilan luarnya saja, jangan terlalu cepat melakukan prasangka kepada sesuatu atau seseorang hanya berdasarkan informasi yang kurang lengkap, atau janganlah kita selalu men-judge bersalah kepada orang lain sebelum ada fakta nyata.
Bukankah ini memang adalah habit manusia?
Menilai seseorang dari tampilan luar saja membuat banyak orang salah langkah dalam menjalani kehidupannya. Banyak cerita nyata yang sering saya dengar dan saksikan seseorang terkecoh dengan penampilan luar, sehingga ditipu dalam berbagai hal.
Dalam urusan bisnis, tampilan luar yang parlente, disangkanya seorang kaya dan pengusaha sukses, tidak taunya semuanya bohong, dan sejumlah modal kitapun dibawa lari.
Ada juga yang tertipu saat memilih pasangan hidup, dikirain pemuda/pemudi yang baik hati, berhati lembut, kaya raya, gonta ganti mobil saat apel kerumah, eh taunya waktu PDKT pinjem mobil teman-nya atau malah cuman rental mobil. Sudah terlanjur married ….hanya bisa menangisi nasib…
Sebaliknya, kita kehilangan kesempatan baik, saat terkecoh dengan penampilan luar yang biasa-biasa dari seseorang. Kadang seseorang dengan tampilan yang biasa saja itu punya pengalaman hidup yang jauh lebih banyak dari kita atau punya Ilmu yang sangat tinggi atau malahan punya kekayaan yang lebih banyak dari kita.
Ada sebuah kisah yang pernah saya baca yang menceritakan betapa kita tidak bisa menilai sesuatu hanya dari sisi luarnya saja, Dzun-Nun Al-Mishri (w.245 H) adalah seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional.
Ada seorang Muda datang ke  Zun-Nun dan bertanya, “Wahai Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain.”
Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia lalu kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
“Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita takbisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”
Memang kita sering menilai seseorang cuma dari cover dan cepat men-judge dengan peta pikiran kita tentang seseorang tersebut. Lebih  mending nge-judge diri sendiri sebelum nge-judge seseorang. Yang jelek itu adalah sifatnya bukan orangnya karena setiap manusia terlahir di dunia ini suci dan ditiupkan ruh oleh Alloh dengan sifatNya2 (Nurani). Tapi lingkungan, pergaulan, pendidikan, dsb yang membuat seseorang tersebut mempunyai karakter dan pola pikir yang berbeda-beda.
Kini saya percaya bahwa  prasangka itu tidak selamanya benar hanya karena kita sudah melihat sesuatu dengan mata kepala sendiri. Prasangka ya hanyalah prasangka. Mau tau sebenar-benarnya? sebaiknya bertanya. oh ya, perlu dicatat, sebaiknya bertanya dengan positive thinking.
Terakhir…
ada beberapa testimoni yang pernah saya catat sekaitan dengan istilah “dont Judge a book by its cover” :Bicara itu hanya kemasan,
Kerja nyata itu isinya. Buku hanya kemasan,
Pengetahuan itu isinya. Pesta pernikahan hanya kemasan,
Cinta kasih, pengertian, dan tanggung jawab itu isinya
Kecantikan dan pakaian hanya kemasan,
Kepribadian itu isinya.
Jabatan hanya kemasan,
Pengabdian dan pelayanan itu isinya.
Makan enak hanya kemasan,
Gizi dan energi itu isinya.
Ranjang mewah hanya kemasan,
Tidur nyenyak itu isinya.
Dunia ini, sangatlah meletihkan jika hidup dihabiskan hanya untuk menjelaskan dan membuktikan bahwa kita orang hebat, baik, benar, keren, luar biasa (atau apalah). Masih banyak hal yg lebih berarti dari itu semua bagi diri sendiri, sesama, dan terutama bagi Sang Pencipta. Utamakan isinya, tetapi jangan lupa juga untuk merawat kemasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar